Kisah Sepeda Onthel Antik Merek Banteng

Sepeda Onthel Banteng

Kisah Sepeda Onthel Antik Merek Banteng – Dalam sejarahnya di Indonesia, sepeda onthel bayak digunakan oleh masyarakat perkotaan Indonesia dari zaman penjajahan Belanda sampai tahun 1950an, 1960an, sampai 1970an. Kemudian pada tahun 1970an sepeda onthel mulai digeser oleh sepeda jengki yang berukuran lebih selaras dari ukuran tinggi ataupun panjangnya dan juga tak dibedakan desainnya untuk pengendara pria ataupun wanita. Sepeda jengki yang cukup populer depo 25 bonus 25 To 5x pada masa itu ialah merek Phoenix dari China. Berikutnya, pada tahun 1980 an sepeda jengki juga mulai tergeser oleh sepeda MTB hingga kini. Kecuali sepeda jengki dan MTB, sesudah tahun 1970an sampai kini masyarakat telah mulai menerapkan alat transportasi yang lebih canggih dari sepeda manual, merupakan sepeda motor.

Awal Mula Sepeda Masuk ke Indonesia

Sepeda masuk Indonesia sebagai alat transportasi sekira tahun 1910. Sepeda permulaan dipakai oleh pegawai kolonial dan ningrat, misionaris, dan saudagar kaya. Militer Belanda juga menerapkan sepeda untuk patroli. Hindia Belanda otomatis menjadi pasar tujuan sepeda Belanda. Merek yang diminati antara lain Fongers, Batavus, Sparta, dan Gazelle. Baru sebagian tahun kemudian timbul sepeda buatan Inggris seperti Humber, Phillips, dan Raleigh, serta merek asal Jerman, Göricke dan Fahrrad. Merek-merek hal yang demikian hadir pada masa hening pasca-Perang Dunia I. Kantor-kantor dagang Eropa menjual sepeda di kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar.

Sebab ini dikenal melewati sejumlah iklan enamel –iklan yang terbuat dari pelat besi bercat enamel– merek sepeda familiar seperti Fahrrad, Opel, Batavus, Gazelle, dan Releigh, yang tersebar di semua Indonesia sekira tahun 1930-1939. Sepeda adalah barang mewah. Harga sepeda seperti Gazelle betul-betul mahal, hampir sama dengan 1 ons emas. Beberapa itu masyarakat lazim cuma sanggup membeli sepeda bekas atau menunggu harganya turun. Pandji Poestaka terbitan 1940 mengiklankan sebuah buku berjudul Pemimpin Toekang Sepeda keluaran Balai Poestaka 1932. Buku yang ditulis oleh J. de Vos ini berisi perihal bagaimana menjadi tukang membetuli sepeda, perihal komponen-komponen sepeda, dan perkakas atau alat yang digunakan untuk membetuli kerusakan sepeda. Dalam perkembangan berikutnya Pemimpin Toekang Sepeda ini banyak dipelajari orang Indonesia kala itu sebagai tutorial metode membetuli sampai membikin sepeda.

Sepeda Ontel Banteng Masuk Batavia

Konon di Batavia pada 1937 telah ada 70 ribu lebih sepeda yang berlalu lalang di trek. Tahun 1942 di Kota Bandung telah ada sekitar 40 ribu lebih sepeda onthel. Saking banyaknya sepeda ini karenanya diadakan registrasi sepeda. Koran di Bandung Tjahaja terbitan tahun 1942 memuat perihal registrasi sepeda. Kedatangan Jepang pada 1942 mengakhiri kejayaan sepeda-sepada Eropa. Jepang melarang penerapan sepeda buatan Eropa dan para pemiliknya malah tak menerima suku cadang seperti ban dan onderdil. Selain merek Jepang antara lain Bike Pals, Club, Milton, Oryx, Prima, Wee Bee, dan Woodcock, berseliweran link slot gacor pada 1960-an. Kebijakan Jepang menimbulkan sepeda rakitan di Indonesia. Bermunculanlah sepeda rakitan dalam negeri seperti merek Banteng, Garuda, dan Dwi Warna. Sepeda-sepeda ini dirakit di Semarang, Bandung, dan Surabaya.

Ada yang beranggapan, boleh jadi sepeda onthel merek Banteng, Garuda dan Dwi Warna dan lainnya ini adalah impor dari Jepang lalu oleh agen atau distributornya diberikan nama-nama Indonesia. Kecuali itu, ada juga yang beranggapan sepeda-sepeda ini adalah hasil rakitan yang dilaksanakan agen-agen sepeda Jepang di Indonesia sekitar akhir 1950-an sampai 1960-an. Jadi sepeda merek Banteng ini bukan produk Belanda, Inggris, tetapi sepeda onthel yang dirakit di Indonesia.

Sebab yang menarik dari sepeda koleksi Museum Sang Nila Utama ini ialah di sepeda ada artikel merek banteng. Sementara di piring-piring bawah sepeda tertulis phoenix. Banteng ialah produk sepeda rakitan di Indonesia. Phoenix sendiri adalah produk China. Beredarnya produk Cina ini tidak terlepas dari kebijakan Presiden Soekarno melarang masuknya barang buatan barat masuk ke Indonesia termasuk juga sepeda. Ini yang membikin sepeda Belanda dan negara Eropa Barat lainnya sempat macet untuk masuk Indonesia. Dan hal ini membikin pasar Indonesia diramaikan oleh pasar Tiongkok. Sepeda buatan Tiongkok ini ukurannya lebih ideal untuk orang Asia. Bahan sepeda malah lebih ringan sehingga lebih nyaman digunakan orang Indonesia.